Artikel


Hang Tuah Berbangsa Cina

Oleh Shahabudeen Jalil


Ramai di kalangan anggota masyarakat kita terutamanya orang-orang Melayu menganggap Hang Tuah adalah legenda pahlawan Melayu. Pada hakikat sebenarnya Hang Tuah bukanlah dari keturunan Melayu sebagaimana yang disangkakan. Itulah yang bakal dihuraikan dalam artikel ini.
   Selama ini orang-orang Melayu telah terkeliru atau mungkin tertipu dengan kedudukan Hang Tuah sebagai legenda pahlawan Melayu yang dibangga-banggakan. Hang Tuah sebenarnya telah diMelayukan untuk tujuan kemegahan semacam bentuk yang tercatat pada Robin Hood.
       Di dalam bilik-bilik darjah, dewan-dewan kuliah atau seminar bermotifkan sejarah atau kajian sejarah hanya membincangkan tentang kepahlawanan, kebijaksanaan serta kesetiaan Hang Tuah. Kisah Hang Tuah yang diagung-agungkan ini telah menenggelamkan keadaan sebenar tentang asal keturunannya.

    Dalam kalangan masyarakat Melayu dewasa ini telah timbul semacam keraguan tentang pahlawan mereka ini, apabila penghormatan kepada pahlawan mereka mula dipersendakan dengan reaksi-reaksi melampau seperti kelihatan dalam filem Hang Tuah.

   Keraguan terhadap kedudukan Hang Tuah sebagai pahlawan Melayu telah menghasilkan satu penyelidikan dijalankan terhadap asal usul keturunan secara hipotesis. Jika pepatah Melayu sendiri telah mengatakan "bahasa jiwa bangsa" dan "manusia mati meninggalkan nama" .
     Bagaimana pula kita hendak menafikan kenyataan "nama menunjukkan bangsa". Bahasa "nama" merupakan identifikasi yang cukup jelas untuk mengetahui jenis sesuatu bangsa itu.
  Bukti yang dapat menerangkan asal-usul Hang Tuah setakat ini, hanyalah dapat disandarkan pada namanya. Oleh itu satu kajian secara hipotesis telah dijalankan dengan bersandarkan kepada "nama" manusia untuk memperolehi jawapan tentang asal-usul Hang Tuah sebenarnya.
    Dalam perbendaharaan nama-nama orang Melayu semasa zaman kesultanan Melayu Melaka, tiada terdapat nama-nama seumpama Hang Tuah, Hang Kasturi, Hang Jebat, Hang Lekir, Hang Lekiu, ringkasnya ringkasan yang bermula dengan "Hang". Sejarah juga telah mencatatkan nama-nama dari bangsa Cina yang bermula dengan Hang, Tan, Maa dan Lee. Ia bergantung kepada suku kaum atau asal-usul keturunan mereka dari wilayah tertentu dari China.
     Kemungkinan untuk mendakwa bahawa gelaran "Hang" telah dianugerahkan oleh Raja-Raja Melayu juga tiada asasnya. Mengikut kertas kerja yang dihasilkan oleh Mohd. Yunus Ibrahim dari Jabatan Sejarah UKM dengan tajuk "Melaka 1400-1511 Dari Aspek Kemasyarakatan," cuma menyatakan bahawa sesuatu penghormatan, ketaatan atau kedudukan adalah diberi gelaran seperti Bendahara, Paduka Raja, Temenggung, Laksamana, Shahbandar dan Mandulika.




UNSUR-UNSUR ISLAM DALAM SULALATUS SALATIN SEJARAH KEDATANGAN ISLAM DI PASAI DAN MELAKA

Penceritaan mengenai kemasukan Islam ke Pasai dan Melaka telah dimetoskan Di Pasai, Merah Silu diislamkan oleh Fakir Muhammad. Pada malamnya bermimpi berpandangan dengan Rasulullah. Rasulullah meminta baginda menganga mulut. Diludahinya, pada keesokannya badannya berbau narawastu Baginda dapat membaca al-Quran tanpa diajar, kemudian menukar namanya kepada Sultan Malikul Salleh.

     Di Melaka, Raja Kecil Besar bermimpi berpandangan dengan keelokkan Rasulullah. Rasulullah meminta baginda mengucap dua kalimah syahadat dan meminta Raja Kecil Besar menukar namanya kepada Raja Muhammad. Keesokan harinya didapati badannya berbau narawastu dan kalam sudah dikhatankan. Baginda dapat membaca al-Quran.Mimpi baginda menjadi kenyataan dimana pada waktu asar kapal Syed Abdul Aziz turun ke pantai Melaka dan beliau bersembahyang di situ.

     Tujuan dimetoskan kedatangan Islam iniadalah bertujuan mengagungkan Islam. Ia memberi gambaran bahawa Islam benarbenar berkembang di Melaka, bermula di istana Melaka dan terus berkembang di kalangan rakyat jelata. Raja Melaka pertama beragama Islam ialah Sultan Muhammad Syah.Gelaran Sultan digunakan setelah Melaka memeluk Islam.


2. PENYEBUTAN DAN PENONJOLAN TOKOH-TOKOH ISLAM
Tokoh Iskandar Zulkarnain adalah pahlawan Islam yang terkenal gagah berani dalam menaikkan martabat Islam di dunia. Tokoh ini dikaitkan dengan asal usul keturunan raja Melaka bertujuan untuk menunjukkan keagungan raja. Tokoh-tokoh lain yang disebut seperti tokoh pahlawan Islam yang terkenal Amir Hamzah Tokoh-tokoh pendakwah Islam,ulama-ulama Islam dari Asia Barat datang ke Melaka bertujuan mengembangkan agama Islam dan mengajar ilmu Islam berpusat di istana Melaka.Tokoh-tokoh tersebut seperti : Syed Abdul Aziz Maulana Abu Bakar Kadi Yusuf Maulana Sadar Jahan Tokoh-tokoh ini diberi penghormatan dan pengiktirafan tinggi di istana Melaka. Mereka sangat berpengaruh terutama dalam soal-soal berkaitan dengan hal-ehwal keagamaan.


3. ADAT ISTIADAT DAN PERUNDANGAN
Unsur-unsur Islam terdapat dalam adat istiadat dan perundangan yang diamalkan kerajaan Melaka. Ia meliputi : Upacara akad nikah kahwin Perayaan-perayaan hari kebesaran Islam seperti menyambut Hari Raya Aidil Fitri dan Hari Raya Korban Adat-adat seperti berkhatan.

        Amalan wasiat menjadi suatu amalan kepada raja-raja Melaka yang mangkat meninggalkan wasiat kepada pembesar negeri dan putera mahkota. Misalnya, wasiat kepada Raja Ahmad. Juga wasiat Sultan Alauddin Riayat Syah kepada Sultan Mahmud. Melalui wasiat ini ia terselit serta kaya dengan unsur-unsur pengajaran dan nasihat yang bersumberkan al-Quran dan hadis.

Rujukan lanjut:



Bustan Al-Katibin: Kitab Tata Bahasa Melayu Pertama Karya Anak Negeri
Oleh Moch. Syarif Hidayatullah

Pengantar
Minat dan kecendekiaan Raja Ali Haji (selanjutnya disingkat RAH) dalam berbagai bidang, sangat kentara bila memperhatikan karya-karyanya yang beragam. Hal ini pula tampaknya yang membuat para peneliti pada mulanya kesulitan menetapkan RAH sebagai tokoh di bidang apa (Hamidy, 1981: 5). Untuk menghindari kesalahan penilaian, para peneliti menilainya sebagai pengarang yang teramat pandai pada abad ke-19 (Hooykaas, 1951: 137). Windstedt (1977: 164) menyebutnya sebagai pengarang Melayu terbesar abad ke-19. Putten dan Al Azhar (2007: xix-xx) menilai RAH sebagai penulis Melayu abad ke-19 paling terkemuka.     
    Meski demikian, ada empat bidang utama yang tampaknya menjadi minat RAH bila menilik lebih lanjut karya-karyanya itu: sejarah, sastra, hukum Islam, dan bahasa. RAH mulai dikenal komunitas ilmu melalui Gurindam Dua Belas dan magnum opus-nya, Tuhfat al-Nafis. Karya-karya RAH—yang menurut catatan Hamidy (1981: 5) berjumlah 13 kitab, sementara menurut Heer (2009: 23—24) berjumlah 12 kitab—sendiri telah menarik banyak ahli untuk menelitinya, meskipun dengan porsi yang berbeda-beda.
Dari sejumlah karya itu, dua karya di antaranya yang memperlihatkan kepeminatan RAH yang besar terhadap bahasa Melayu, yaitu Bustanul Katibin dan Kitab Pengetahuan Bahasa. Dua karya ini masing-masing menjadi karya pertama dalam khazanah ilmu bahasa Melayu. Bustanul Katibin dinilai sebagai kitab tata bahasa pertama, sementara Kitab Pengetahuan Bahasa dinilai sebagai kamus monolingual pertama dalam bahasa Melayu.

Naskah Bustan al-Katibin
Naskah Bustan Al-Katibin (yang judul lengkapnya adalah Bustanul Katibin lish Shibyanil Muta’allimin [Taman Para Penulis untuk Anak-anak Pelajar]—yang selanjutnya disingkat BK) dalam bentuk manuskrip, tersimpan di antaranya di Yayasan Inderasakti Pulau Penyengat (Hamidy, 1985: 227), PNRI (Behrend, 1998: 332), dan Perpustakaan Universitas Leiden (Heer, 2009: 23). Namun, informasi ihwal manuskrip yang tersimpan di Perpustakaan Universitas Leinden ini belum banyak saya peroleh.
       Khusus untuk naskah BK yang terdapat di PNRI, dalam Katalog Induk Naskah-naskah Nusantara Perpustakaan Nasional Republik Indonesia yang disunting Behrend (1998) pada “Indeks Naskah Berbahasa Melayu” (hlm. 556), BK tersimpan di PNRI dengan kode naskahML 26, W 218, dan W 219. Hanya saja naskah ML 26 terdapat tambahan kode (*) sebelum ML. Pada bagian “Kata Pengantar” (hlm. xxv), kode (*) tersebut ternyata berarti naskah dimaksud kini telah hilang. Dengan kata lain, yang tersisa naskah BK di PNRI hanya naskah W 218 dan W 219, yang oleh Behrend (1998: 332) dicatatkan sebagai salah satu dari koleksi Von de Wall. Sayangnya, kondisi kedua naskah tersebut sangat memprihatinkan dan diberikan catatan “rusak” oleh pihak PNRI. Untuk naskah W 219, bagian halaman kiri sama sekali tidak terbaca dan tulisan bagian halaman kanan agak kabur karena tintanya rusak. Sementara itu, hanya ada beberapa bagian pada naskah W 218 yang tidak bisa dibaca, karena kertasnya sebagian sudah rusak dan tintanya pun mulai memakan kertas. Meski demikian, naskah W 218 masih bisa diakses dengan memanfaatkan hasil print out dari mikrofilmnya.
     Jumlah halaman naskah BK pun berbeda-beda. Yang tersimpan di Yayasan Inderasakti naskahnya berjumlah 56 halaman, sementara yang di PNRI untuk naskah W 218 berjumlah 52 halaman dan naskah W 219 berjumlah 88 halaman. Perbedaan halaman ini tampaknya berhubungan dengan ukuran kertas dan ukuran tulisan masing-masing naskah. Khusus  yang di PNRI, gambaran mengapa terjadi perbedaan halaman ini terlihat pada Katalogus Koleksi Naskah Melayu Museum Pusat Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (1972: 333), naskah W 218 dideskripsikan mempunyai ukuran 33 x 21 cm, 56 halaman, 25 br., huruf Arab, jelas. Sementara itu, naskah W 219 dideskripsikan berukuran 21 x 16 cm, 88 halaman, 14 br., huruf Arab, jelas, dan paragrafnya tidak bernomor.
    Kolofon berbagai naskah memperlihatkan masa akhir penulisan yang agak berbeda. Naskah yang tersimpan di Yayasan Inderasakti mencatat tanggal 20 Sya’ban 1274 (1857 M) (Junus, 2004: 64). Sementara itu, naskah W 218 yang tersimpan di PNRI mencatat tanggal 20 Sya’ban 1273 H (1856 M), dan naskah W 219 mencatat tanggal 18 Zulkaidah 1267 H (1850 M). Perbedaan ini sendiri membuat Hamidy (1982) meragukan kebenaran BK sebagai karya RAH, selain kapan sebenarnya BK ditulis RAH. Meskipun, bukti-bukti lain melemahkan keraguan Hamidy  ini, seperti yang terlihat dalam surat RAH kepada Wall yang menunjukkan betapa bangganya RAH setelah selesai merampungkan BK (Putten dan Al Azhar, 2007: 47).     
Selain naskah itu, menurut Heer (2009: 23), BK tersebut pernah dicetak (printed editions) batu di Pulau Penyengat pada tahun 1274/1857; juga di Singapura sebelum Nopember 1882 dan 1310/1892. Data yang diungkap Putten (1996: 15) juga menyebut tahun 1868 sebagai cetak litografi BK untuk teks ketiga yang berasal dari Riau. Mikrofilm BK tersimpan di perpustakaan SOAS Universitas London, Universitas London, Universitas Monash, dan Universiti Malaya.  
      Naskah BK sendiri sudah ditransliterasikan. Sejauh yang saya ketahui, ada tiga transliterasi BK yang sudah dibuat. Pertama, transliterasi naskah yang bersumber dari manuskrip Klinkert yang tersimpan di Universitas Leiden, dibuat oleh Musa (2005). Sayangnya, saya belum mendapatkan hasil transliterasi ini. Kedua, transliterasi naskah yang terdapat di Pulau Penyengat, yang saya dapatkan atas kebaikan budi Kridalaksana yang bersedia meminjamkan hasil transliterasi. Sayangnya, saya belum mendapat informasi pasti ihwal siapa yang mentransliterasikan BK yang dari Pulau Penyengat ini. Kridalaksana hanya menyampaikan bahwa hasil transliterasi itu disediakan oleh Raja Hamzah Junus. Kridalaksana (1978: 29) tidak bisa memastikan apakah transliterasi itu berdasarkan salinan dari manuskrip atau cetak batu.
   Terdapat perbedaan isi antara transliterasi itu dengan naskah yang terdapat di PNRI. Setidaknya, berdasarkan pengamatan awal saya, pada bagian mukadimah, naskah PNRI lebih panjang daripada hasil transliterasi dari Pulau Penyengat. Naskah yang di PNRI sudah mencantamkun “daftar isi” di bagian depan buku, sementara hasil transliterasi mencantumkan “daftar isi” di bagian belakang. Bagian penutup (khatimah) juga tidak ditransliterasikan, sementara naskah PNRI mencantumkannya. Selain itu, kelemahan yang paling mendasar adalah tidak adanya panduan kerja filologis dalam pentransliterasian naskah yang dari Pulau Penyengat tersebut. Transliterasi naskah dari Pulau Penyengat ini pun tidak mencantumkan kolofon.
  Ketiga, transliterasi yang dibuat oleh Mu’jizah dan Muhammad Hamidi, untuk keperluan tugas mata kuliah Sejarah Studi Bahasa Indonesia yang diampu oleh Kridalaksana. Keduanya mentransliterasi naskah W. 218, yang tersimpan di PNRI. Pedoman pentransliterasian juga telah dibuat oleh keduanya. Pengamatan sekilas terhadap hasil transliterasi yang dibuat keduanya, tampak ada beberapa kelemahan, seperti tidak transliterasikannya أفصح, juga kata كلب yang ditrasliterasikan menjadi kalbun pada bagian pengantar BK, yang seharusnya ditransliterasikan menjadi gelap. Meski demikian, pentransliterasian keduanya dapat dikatakan cukup lengkap karena telah mentransliterasikan semua bagian BK, termasuk tiga pesan yang dicantumkan dalam naskah W. 218. Kaidah syair Melayu dan syair ikat-ikatan setelah bagian penutup, yang ada di naskah PNRI, juga ditransliterasikan, yang menurut Kratz (1996: 16) merupakan tambalan pada akhir  BK.


Rujukan Selanjutnya:


Perkhidmatan Sheikh Haji Wujud Sejak Zaman Hang Tuah
Oleh Aiza Maslan @ Baharudin

ORANG Melayu sememangnya sudah maklum dan menggunakan perkhidmatan Sheikh haji sejak beberapa kurun lalu. Sheikh haji adalah organisasi popular dan berperanan penting dalam hal-ehwal pengurusan haji.
   Catatan awal mengenai sheikh haji terdapat dalam naskhah Melayu lama seawal abad ke-15 lagi. Hikayat Hang Tuah umpamanya memaparkan peranan dimainkan Malek R.s.t.l di Makkah dan Sheikh Jamaluddin di Madinah dalam menjaga kebajikan rombongan Hang Tuah.
Dalam Tuhfat al-Nafis turut digambarkan bagaimana rombongan Raja Ahmad dan Raja Ali Haji disambut serta ditawarkan perkhidmatan oleh Sheikh Ismail, Sheikh Ahmad Mushaffi dan wakil Sheikh Daud di Jeddah. Raja Ahmad akhirnya memilih Sheikh Ahmad Mushaffi yang berketurunan Bugis bagi memudahkan interaksi antara mereka.
Sistem sheikh diwujudkan bagi memenuhi keperluan jemaah haji yang datang dari seluruh dunia untuk membimbing melaksanakan tuntutan haji, membantu memahami selok-belok kehidupan di Tanah Suci sekali gus menyediakan kemudahan penginapan, makan minum dan pengangkutan sepanjang musim haji.
Gelaran sheikh haji hanya digunakan oleh orang Melayu di Asia Tenggara, namun dalam persuratan dan urusan rasmi, istilah broker haji lebih kerap digunakan. Jemaah haji Tanah Melayu diletak di bawah pengawasan sheikh haji yang dikhususkan bagi taifah Asia Tenggara. Dengan pelaksanaan sistem taqrir yang menetapkan Sheikh haji mengikut daerah tertentu mewujudkan gelaran sheikh haji mengikut kawasan seperti Sheikh Ahmad Lampong atau Sheikh Hussin Jambi.
Sheikh haji biasanya boleh bertutur dalam bahasa Melayu dan Jawa berdasarkan pengalaman mereka menetap di kawasan berkenaan atau mengahwini wanita daripada komuniti Melayu-Indonesia yang bermastautin di Hijaz. Sheikh haji di Tanah Melayu sebahagian besarnya terdiri daripada keturunan Arab yang berkhidmat bagi pihak sheikh haji di Tanah Suci. Ada sebilangannya bergerak bebas tanpa terikat. Mereka ini mengatur perjalanan jemaah haji, mendapat bayaran sagu hati daripada syarikat perkapalan, menemani jemaah haji ke Tanah Suci dan menyerahkan jemaah haji kepada sheikh haji Tanah Suci yang diwakili mereka.
Ada juga antara mereka menyerahkan jemaah haji kepada sheikh haji Tanah Suci yang menawarkan bayaran lebih tinggi. Kebanyakan mereka berpusat di Singapura, Pulau Pinang dan bergerak ke seluruh Semenanjung Tanah Melayu serta negara jiran.
Jemaah haji Melayu biasanya bertemu sheikh haji ketika mereka mengadakan kempen di kampung. Ada juga memilih sheikh haji berdasarkan syor oleh sanak-saudara dan rakan yang berpuas hati dengan perkhidmatan sheikh haji terbabit. Selain itu, guru pondok turut berperanan menentukan sheikh haji bagi pelajarnya yang akan menunaikan fardu haji. Selepas pemilihan sheikh haji dan pembayaran dilakukan, kontrak itu tidak dapat diubah dan jemaah haji akan kekal di bawah pengawasan sheikh haji itu sehingga selesai musim haji. Anda boleh terus merujukhttp://www.mukmin.com.my/baca.php?kategori=12&id=1563

2 comments:

  1. sy pnah dgr sblm ni yh hang tuah tu brasal dr negara china...sejauh mn ksahihannya...?

    ReplyDelete
    Replies
    1. ada byk pndpt mngenai kwujudan hang tuah...shgga kini msh blm dpt dbktikan lg kesahihannya...

      Delete